
Penulis: Prof Ahamed Kameel Mydin Meera, Mizan, 2010
Apakah ciri-ciri kolonialisme? Pada dasarnya, para penjajah (colonialist) merupakan penguasa negara-negara yang mereka jajah. Mereka menyusun undang-undang, kaidah-kaidah, peraturan-peraturan, dan kebijakan-kebijakan. Mereka menentukan penggunaan sumber daya nasional, kebijakan pendidikan, struktur sosial, dan bahkan kebudayaan.
Kolonialisme bukan hal baru, beberapa negara berkembang termasuk Malaysia (dan Indonesia tentunya) telah melewati masa-masa sulit tersebut sebelumnya. Negara-negara ini tidak suka dijajah dan oleh karenanya berjuang untuk mendapatkan kembali kedaulatan dan kemerdekaan. Akan tetapi, sepeninggal para penjajah tersebut, mereka mewariskan sistem pendidikan yang secara efektif memisahkan agama dan ilmu pengetahuan (sekulat) dan sistem keuangan yang berupa fiat money (uang hampa) berbasis bunga.
Di negara Malaysia, jauh sebelum masa penjajahan, pemerintah negara bagian utara semenanjung yang bersejarah membayar ufti (perhiasan bunga yang terbuat dari emas) kepada kerajaan siam sebagai “uang perlindungan”. Kerajaan siam tidak ikut campur dengan putusan dan kebijakan-kebijakan orang lokal. Mereka hanya mengambil “hadiah” emas.
Tujuan kami dalam menyoroti hal ini bahwa liberalisasi keuangan yang telah digawangi oleh Barat atas nama globalisasi pada berikutnya akan menjadi alat bagi mereka untuk menjajah kembali negara-negara berkembang. Untuk memahami hal ini, seseorang perlu memahami bagaimana sistem fiat money berbasis bunga bekerja. Jika globalisasi berhasil membawa masuk bank-bank asing untuk beroperasi di sebuah negara, maka tinggal menunggu waktu sebelum kekayaan dan kedaulatan negara tersebut jatuh ke tangan lembaga-lembaga keuangan internasional.
Dengan hilangnya kedaulatan, negara-negara berkembang akan kembali pada hari-hari saat mereka dijajah dulu, tapi kali ini para penjajah akan lebih kuat daripada sebelumnya. Setiap penduduk akan menjelma menjadi “budak”. Suku bunga akan menentukan tingkat pembayaran ufti (upeti). Yang demikian membuat ufti menjadi besar karena walaupun dengan 5 persen suku bunga yang relatif kecil masih merepresentasikan ekonomi riil dalam jumlah besar (karena uang diperkenalkan kedalam ekonomi sebagai pinjaman). Negara-negara berkembang tersebut tidak hanya akan membayar ufti, tetapi keputusan-keputusan vital akan dibuat oleh para penjajah termasuk undang-undang negara, sistem pendidikan, dan bahkan kebudayaan negara-negara tersebut. Para penjajah pada masa lalu hanya mendapatkan kekuatan tersebut setelah mengalami beberapa konfrontasi yang serius, seperti perjuangan, peperangan dan lain-lain. Bagaimanapun, sistem keuangan sekarang menjadi alat atau cara yang mudah dan lebih tepat untuk para penjajah.
Liberalisasi keuangan yang akan datang akan secara efektif mentransfer kekuatan seperti yang dimiliki kaum penjajah kepada lembaga-lembaga keuangan secara “damai”. Masyarakat akan menjelma menjadi “budak” yang harus memberikan beberapa porsi penghasilan kepada para penjajah tersebut dan mengikuti perintah dari mereka berdasarkan undang-undang, pendidikan dll. Oleh karena itu, liberalisasi keuangan dalam kerangka fiat money adalah sebuah alat atau cara untuk penjajahan global. Tidak ada praktik sebelumnya yang sama dengan sistem tersebut.
Jika kolonialisme adalah sesuatu yang baik, contohnya, jika penjajah tersebut memberikan masyarakat standar kehidupan yang lebih baik dalam pengertian kekayaan, pendidikan, kesehatan, dll. Ditambah kebebasan untuk mempraktikan agama, dll, mungkin akan diterima oleh masyarakat. Bagaimanapun, apa yang kita lihat adalah pemaksaan dan pembebanan kebudayaan sekuler barat kepada masyarakat. Agama dan kebudayaan masyarakat malah menderita di bawah pengaruhnya. Kekosongan spiritual memungkinkan peran peraturan-peraturan agama seperti syariah berkurang hanya sebagai sebuah sejarah. Pada dasarnya, kehidupan akan ditransformasikan kepada kehidupan materialistis dengan secara berkala ufti dibayarkan kepada para penjajah.
Jika, pada masa lalu, kekuatan tersebut didapatkan melalui perjuangan dan peperangan, dengan analogi, liberalisasi merupakan perang itu sendiri. Dinar emas (dan tentu saja juga dirham perak, red) mematahkan alat yang paling fundamental itu untuk penjajahan, yaitu fiat money. Secara signifikan dinar emas mengurangi kepercayaan dan ketergantungan terhadap cadangan mata uang asing untuk perdagangan. Emas (dan perak, red) menempatkan kekuatan melawan terhadap kolonialisasi ekonomi. Oleh karenanya, sangat memungkinkan kalau negara-negara berkembang bersatu dalam memperjuangkan dinar dirham dan memetik semua manfaat mata uang umum global yang memiliki nilai instrinsik. Uang emas dan mekanisme penyelesaian perdagangan dengan menggunakan emas dan perak merupakan alat atau cara untuk mencegah penjajahan ekonomi gaya baru.